Kamis, 11 Februari 2021

Kisah Pelukis Sapto Hoedojo

Tujuh Tahun Lumpuh dan Kini Tidak Bisa Bicara

Bambang Soebendo
sinarharapan.co.id
 
Siapa yang tidak kenal dengan pelukis “kondang” dari Yogyakarta ini? Rambut perak, kulit hitam, menyukai kacamata warna gelap, sepatu putih, gelang plus kalung emas bermedali. Itulah pelukis Sapto Hoedojo, yang bernama lengkap Doktor Raden Mas Sapto Hoedojo FRSA (Felloe Royal School of Art), kelahiran Sala (Jawa Tengah) 6 Februari 1925.
 
Ketika bertemu SH sepuluh tahun lalu, Sapto yang sejak kecil gemar berolahraga selain berkelahi, masih tampak sehat dan tegap, mengesankan usia yang relatif muda dibanding usia sebenarnya. “Sejak kecil saya tidak merokok. Saya gemar renang dan atletik,” akunya ketika membuka rahasia resep awet mudanya waktu itu.
 
Di banyak kesempatan resmi, Sapto yang selalu didampingi isteri keduanya, Yani, tampil “dandy” dan “flamboyan”, mengesankan keberhasilan usahanya dalam dunia materi. Namun dalam keseharian, ia lebih sering bertelanjang dada dengan sepotong celana jins buntung.
 
Sesekali ia memakai kemeja lengan buntung, nyentrik. Dalam “pakaian seragam” seperti itulah ia bekerja berkeringat di galerinya di Jalan Sala, Maguwo, Yogyakarta. Ia melukis, memahat, membatik, dan memelihara burung. Bila jenuh, dengan mobil kesayangannya Mustang-Ford-nya warna putih ia ngebut, jalan-jalan menuruti nalurinya.
 
Sapto Sekarang
 
Bagaimana keadaan Sapto? Rasa-rasanya seperti bumi dengan langit, amat jauh berbeda. Beberapa hari yang lalu ketika SH datang ke galerinya, Sapto yang sedang duduk di kursi roda dipapah berjalan-jalan mengelilingi halaman galeri yang cukup luas untuk menikmati matahari pagi.
 
“Sudah tujuh tahun papi (menyebut nama Sapto) lumpuh terserang stroke, sehingga tidak bisa berjalan sendiri. Malahan setahun terakhir ini papi tidak bisa bicara sama sekali dengan siapa pun. Untuk komunikasi papi hanya menggunakan bahasa isyarat lewat mulut dan kedipan mata,” kata Sriningsih yang telah merawat pelukis ini selama hampir tujun tahun.
 
Siapa pun akan terharu dan terpaku apabila bertemu dengan Sapto Hoedojo saat ini. Betapa tidak? Pelukis yang kini telah berusia 77 tahun ini, sehari-harinya hanya tergolek di tempat tidur atau duduk di kursi roda, ditemani perawatnya yang setia, Sriningsih, mantan perawat Rumah Sakit Elizabeth, Semarang. Sedang isterinya, Yani, pada hari Sabtu dan Minggu saja bisa menemaninya, selebihnya berada di Jakarta mengurus bisnisnya.
 
Badannya kurus, kulitnya legam kecoklat-coklatan, matanya kosong bila menatap atau bertemu seseorang, karena sejak setahun lalu Sapto sama sekali tidak bisa bicara. Selama tujuh tahun Sapto pernah terserang stroke tiga kali, dan sudah sering keluar-masuk rumah sakit baik di Yogyakarta maupun Jakarta.
 
“Yang lebih menyusahkan saya, papi sekarang selain sulit bicara juga sulit makan. Tingkahnya seperti anak kecil. Berjalan ke sana-kemari dan memerlukan waktu yang cukup lama. Tapi tidak apa yang penting papi sehat,” kata Sriningsih.
 
Kisah Cinta
 
Masa muda pelukis flamboyan ini penuh warna. Sapto adalah putera seorang dokter keraton Surakarta bernama Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Hendronoto. Ibunya masih keturunan keluarga pujangga Ronggowarsito yang terkenal dengan karyanya Zaman Edan, yang kini dimakamkan di desa Palar, Klaten (Jawa Tengah). Sebagai putra ketujuh dari 21 bersaudara, ia diberi nama “Sapto”.
 
Sapto memang dilahirkan di kalangan seniman. Kakeknya, Ki.Padmo Susastro, merupakan pujangga keraton Surakarta yang menulis tentang adat istiadat Jawa atau Kejawen, menulis dongeng rakyat yang terkenal Kancil Nyolong Timun (Kancil mencuri timun). Pamannya, Ki Harjowirogo, adalah seorang penulis yang purwa dan salah seorang pendiri Balai Pustaka, Jakarta.
 
Pada mulanya Sapto tidak bercita-cita menjadi seniman, apalagi pelukis, walaupun sejak kecil ia sudah pandai menggambar. “Saya justru bercita-cita menjadi atlet nasional yang tangguh”, katanya waktu itu. Selain renang, Sapto juga gemar bersepeda atletik. Pernah ia memenangkan lomba lari di kota kelahirannya, Sala. Belakangan ia suka olahraga gulat dan sumo. “Bisa jadi ini sekadar penyaluran hasrat saya untuk berantem”, katanya sambil tersenyum. Memang waktu muda Sapto punya hobi berantem atau berkelahi. Karena bersenggolan di jalan atau soal cewek saja, ia bisa berkelahi.
 
Sapto yang waktu muda berwajah ganteng, atletis, anak seorang dokter yang masih “berdarah biru”, dikenal juga sebagai seorang “jagoan cewek”. Banyak gadis Sala, termasuk gadis kraton, yang menyukai dirinya. Tentang sebutan “jagoan cewek”, Sapto tak berkeberatan, dan ia punya dalih, “Saya melihat sebagai sesuatu yang indah dan menarik untuk diamati. Mungkin keindahan wanita pula yang ikut mendorong minat saya untuk mencintai seni”, katanya.
 
Tahun 1952, Sapto menikah dengan Kartika, puteri tunggal pelukis almarhum Affandi, di London, dengan saksi Dr. Soebandrio, Dubes RI untuk Inggris waktu itu. Ternyata sukses dalam karier sebagai seniman dan juga dalam materi tidak menjamin keberhasilan Sapto dalam membina rumah tangga.
 
Tahun 1970, Sapto dan Kartika bercerai dan memutuskan untuk menjalani nasib masing-masing setelah berumah tangga selama 17 tahun lebih dengan dianugerahi Tuhan delapan anak dan beberapa orang cucu.
***
 
Kenapa harus cerai? Dalam buku Sapto Hoedojo Dalam Liputan Media (YB.Margantoro, Fadmi Sustwi Yusuf, 1993) tidak banyak informasi tentang masalah ini. Baik Sapto maupun Kartika tidak bersedia menjelaskan. Mereka memilih diam, seakan-akan mencoba menikmati sendiri kepedihan akibat perceraian itu.
 
Diakui Sapto, perceraian dengan Kartika membuat hidupnya kacau dan kocar-kacir. “Saya seperti kehilangan pegangan,” akunya. Sekalipun telah bercerai, Sapto tetap menghormati puteri tunggal pelukis Affandi (almarhum) itu. “Saya tetap menghormati Kartika karena ia adalah ibu dari anak saya. Dia saya ingat dengan titik kekaguman tersendiri,” kata Sapto dengan tulus.
 
Tahun 1972, hidup Sapto mulai berbunga-bunga lagi. Setelah dua tahun menduda, ia kembali bertemu jodoh. Seperti sebuah dongeng 1001 malam, kisah ini bermula dari sebuah perjalanan tanpa tujuan. Konon, suatu siang, sang duda yang waktu itu berusia 47 tahun karena merasa gundah dan gelisah, meninggalkan Yogyakarta menuju utara jurusan Magelang.
 
Di bawah hujan lebat ia ngebut dengan mobil kesayangannya menuju suatu tempat yang kurang jelas, sekadar mengikuti naluri saja. Setelah melewati Muntilan, ia tiba-tiba berbelok menuju Borobudur.
 
Di sini kisah asmara bermula. Di tengah jalan ia melihat dua orang gadis sedang berteduh menunggu angkutan umum. Seperti magnet, ada semacam daya tarik kuat, Sapto tiba-tiba menghentikan mobilnya seraya menawarkan kedua gadis itu menumpang di mobilnya. Dan, ternyata ajakan duda ganteng itu bersambut.
 
Cinta mendadak lagi-lagi menyergap hati Sapto. Seperti ketika jumpa Kartika di tahun 50-an di Singapura, secepat itu pula Sapto kasmaran alias jatuh cinta dengan salah seorang gadis yang menumpang di mobilnya. Gadis itu bernama Mulyani alias Yani, umur 17 tahun, siswa kelas III SMA Negeri II Purwokerto, Jawa Tengah. Wajahnya segar, rambut panjang, berkulit langsat. Sosoknya “semok” dengan tinggi 165 cm dan bobot/berat 60 kg.
 
“Seperti ada magnet saya langsung tertarik dan terpikat,” kenang Sapto tentang gadis yang kini menjadi isterinya. Singkat cerita, beberapa hari kemudian Sapto melamar Mulyani, yang ternyata anak seorang petani sederhana di Purwokerto bernama Hadi Prayitno. Sekalipun usia keduanya terpaut 30 tahun, lamaran Sapto langsung diterima Mulyani. Dengan Sapto, Yani yang kini masih tampak segar dan mengairahkan ini mempunyai seorang putra bernama Sikka Sekar Langit.
 
Pada mulanya, perkawinan Sapto dan Yani menimbulkan banyak pergunjingan. Bahkan ada yang berani bertaruh mengenai panjang usia perkawinan itu. Toh, pergunjingan itu reda sendiri, dan perkawinan Sapto dengan Yani masih tetap langgeng sampai kini.
 
Yani secara fisik memang sangat berarti bagi Sapto. Hingga kini, Yani nyaris tak bisa dipisahkan dari produk seni Sapto. Lewat keindahan tubuh sang istrilah, Sapto memperkenalkan karya-karya batiknya, aksesori dan lain-lain.
 
Koperasi dan Makam Seniman
 
Ketika masih sehat, Sapto selalu muncul dengan gagasan-gagasannya yang segar dan terkadang kotnroversial. Misalnya, tahun 1985 di hadapan para wartawan dan seniman dalam suatu makan siang di galerinya, Sapto melontarkan kontrak dan rezeki. “Tapi apa keadaan semacam itu bakal mampu bertahan?” tanyanya. “Oleh sebab itu, saya sangat setuju kalau dibentuk koperasi. Bahkan tidak saja para pelukis, bintang film dan para pelawak pun bisa kita ajak dalam wadah ini,” ujar Sapto yang waktu itu ditunjuk oleh Menteri Koperasi/ Kabulog Bustanil Arifin sebagai salah seorang Dewan Penasihat KOPSENI (Koperasi Seniman).
 
KOPSENI tidak dibentuk di Yogyakarta tetapi di Jakarta, tepatnya di Taman Ismail Marzuki (TIM) tahun 1985. Selain Sapto, duduk sebagai penasihat KOPSENI adalah Ny. Bustanil Arifin dan Umar Kayam. Sedangkan sebagai Dewan Pengurus antara lain Leon Agusta, Rendra, Gerson Poyk, Sutardji Calzoum Bachri. Koperasi para seniman yang pada mulanya berjalan lancar antara lain menangani soal simpan-pinjam dan pemasaran karya seniman bisa ditebak akhir perjalanannya.
 
Setelah beberapa bulan, koperasi itu hanya tinggal nama. Para pengurusnya jarang ke kantor, dan mungkin namanya sudah terlupakan sekarang. Yang unik ketika dibuka usaha simpan-pinjam, banyak seniman berbondong-bondong meminjam uang, tetapi sedikit yang menyimpan atau menabung. Dan akhirnya, koperasi gulung tikar alias bangkrut.
 
Gagasan Sapto lain yang dianggap cukup kontroversial adalah soal makam seniman. Pada mulanya gagasan itu dianggap sepi bahkan dilecehkan sesama seniman Yogyakarta sendiri. Seorang pelukis batik terkenal misalnya menganggap soal makam seniman adalah soal kesepuluh. Yang lebih perlu dipikirkan adalah hasil kerja seniman dan nasib keluarganya.
 
Ketua Dewan Kesenian Yogyakarta yang waktu itu dijabat Bakdi Soemanto berpendapat bahwa soal makam seniman di luar negeri bukan barang baru lagi. Mungkin di tahun 2000 nanti soal makam seniman baru dianggap penting di Indonesia.
 
:Ini hanya soal waktu saja dan perlu waktu panjang. Di Inggris misalnya bisa dijumpai makam penyair besar Shakespeare. Hal itu untuk menjawab munculnya kerinduan atau nostalgia,” tambahnya.
 
Menjelaskan tentang gagasannya itu, Sapto menyatakan masalahnya sederhana saja. “Kalau pahlawan dimakamkan di Taman Pahlawan, mengapa seniman tidak? Apa jasa seorang seniman yang berprestasi mengangkat dan mengharumkan nama bangsa seperti Affandi (pelukis), Gesang (musikus), Rendra (penyair), dan Liberty Manik (musikus) tidak sepantasnya dimakamkan di tempat terhormat seperti Taman Pahlawan. Seniman kan juga pahlawan. Kalau pahlawan mati, yang biasanya mengangkat senjata, seniman berjuang dengan pena dan kuas, jasanya juga pantas diingat terus.”
 
Gagasan itu pada awalnya dikonsultasikan dengan mantan mertuanya, Affandi. Ternyata, Affandi menyambug dengan antusias. Ia bahkan tercatat sebagai pendaftar pertama penghuni Makam Seniman yang terletak di Bukit Gajah, dekat Makam Raja-raja Mataram di Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Sayang sekali, ketika maestro pelukis Indonesia itu meninggal, ia tak jadi dimakamkan di sana. Affandi, atas permintaan isterinya Maryati (almarhum) dimakamkan di Museum Affandi, Jalan Sala, Yogyakarta.
 
Ada jasa lain yang pantas dicacat dari pelukis yang sudah tujuh tahun lumpuh dan setahun ini tidak bisa bicara, yaitu mengangkat derajat seniman/pengrajin gerabah dari Kasongan (Bantul) dan Tegawanuh (Temanggung). Tahun 1964 Sapto Hoedojo turun tangan meningkatkan derajat pengrajin ini dengan memberi latihan contoh desain atau motif-motif baru kerajinan gerabah sesuai dengan selera dan permintaan pasar.
 
Berkat tangan dinginnya kerjinan gerabah made-in Kasongan dan Tegawanuh mulai dikenal di pasaran dalam dan luar negeri. Selain derajat, secara tidak langsung Sapto yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa Kasongan yang dulu sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan. Sampai kini Sapto masih tetap dianggap guru atau sesepuh masyarakat desa Kasongan dan Tegawanuh.
 
Sayang, nasib Sapto Hoedojo saat ini agaknya kurang beruntung dibanding dengan Umar Kayam yang pernah tinggal lama di Yogyakarta, pendiri dan pemimpin pertama pusat studi kebudayaan UGM. Setiap gerak, kegiatan atau kejadian yang menyangkut Umar Kayam selalu mendapat perhatian luas dunia pers, baik cetak maupun elektronik. Tetapi Sapto Hudojo yang sudah tujuh tahun tergolek di tempat tidur atau duduk lemah di kursi roda, dan sudah setahun tidak bisa bicara, sepi dari perhatian dan simpati. Dunia seakan-akan membisu seperti dunianya Sapto Hoedojo saat ini?
 
***

http://sastra-indonesia.com/2010/11/sapto-hoedojo/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar